PERAN AKTIF-PASIF HAKIM PERDATA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP AKSES KEADILAN

Oleh : Hasanudin, S.H., M.H. (Ketua Pengadilan Negeri Singkawang)

Praktek hukum menunjukkan terdapat banyak putusan hakim perdata menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO/niet onvankelijk verklaard), atau putusan bersifat penghukuman (comdemnatoir) namun ternyata tidak dapat dieksekusi (non eksekutable). Sering hal ini terjadi akibat ketidaktahuan pencari keadilan sehingga sesat dalam proses formal administrasi keadilan (hukum acara). Misalnya saja penggugat mengajukan gugatan, yang karena ketidaktahuannya menjadikan gugatan tidak jelas/kabur atau kurang pihak. Keadaan seperti itu tentu sudah diketahui oleh hakim sejak awal ia memeriksa perkara, tetapi hakim membiarkannya dengan alasan hakim harus pasif.

Jadi sejak awal pemeriksaan, hakim sudah berkesimpulan tentang hasil akhirnya. Hakim tidak memberikan nasehat kepada para pihak, tetapi melanjutkan proses persidangan, jawab-menjawab, pembuktian, pemeriksaan setempat dan kesimpulan. Setelah melalui proses yang melelahkan, kemudian hakim menjatuhkan putusan NO. Sudah barang tentu ini jauh dari peradilan bertujuan menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945), atau secara praksis jauh dari jargon peradilan diselenggarakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.

 

Hakim Pasif dan Hakim Aktif

Sepengetahuan penulis, terdapat pandangan bahwa hakim perdata multak bersifat pasif. Sikap pasif tidak hanya dalam arti hakim bersifat menunggu (tidak mencari-cari perkara) atau luas ruang lingkup sengketa tergantung para pihak, tetapi meliputi hakim pasif dalam memimpin persidangan. Asumsinya karena perkara adalah kehendak para pihak sehingga hakim tidak perlu mencampuri jalannya perkara. Perihal bagaimana proses persidangan berjalan, pengajuan bukti-bukti, ataupun bagaimana para pihak menetapkan hubungan hukum merupakan urusan para pihak. Hakim hanya bertugas mengawasi agar peraturan hukum acara dilaksanakan oleh para pihak.

Paradigma di atas berasal dari filsafat hukum barat yang liberal-individualisme yang dilembagakan dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV). Tetapi sesungguhnya RV tidak berlaku sebagai hukum acara perdata di pengadilan negeri (landraad), karena yang berlaku di Jawa dan Madura adalah Herziene Indonesisch Reglement (HIR), sedangkan untuk luar Jawa dan Madura adalah Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg). HIR/RBg lahir dari aliran tradisional indonesia yang menghendaki agar setiap perkara yang disidangkan hakim diselesaikan secara tuntas.

HIR/RBg lahir disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat yang sederhana. Proses dan prosedur persidangan dibuat jauh dari kesan formalistik. Prinsip persidangan bersifat lisan. Gugatan juga dapat dilakukan secara lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 RBg). Persidangan dilakukan dengan cara tanya jawab di muka hakim. Oleh karena itu hakim berperan dominan dalam memimpin persidangan maupun dalam nenentukan semua faktor dan proses.

 

Kewajiban Hakim Aktif

Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan legitimasi yuridis keaktifan hakim. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya. Sederhana mengandung makna pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan secara efektif dan efisien, sedangkan biaya ringan berarti biaya perkara dapat dijangkau oleh masyarakat.

HIR/RBg telah menempatkan hakim dalam posisi aktif dalam tahap pra persidangan, persidangan dan pasca persidangan (eksekusi). Berikut adalah ketentuan dalam HIR/RBg yang menempatkan peran hakim aktif, yaitu:

Pasal 119 HIR/Pasal 143 RBg :

Ketua pengadilan negeri berwenang memberi nasihat dan bantuan hukum kepada penggugat atau wakilnya atau kuasanya dalam hal mengajukan gugatannya.

Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg :

Jika ketua menganggap perlu agar perkara dapat berjalan dengan baik dan teratur, maka pada saat pemeriksaan perkara, dia dapat memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dan guna menunjukkan upaya hukum dan keterangan yang dapat mereka pergunakan.

Pasal 195 ayat (1) HIR/Pasal 206 ayat (1) RBg :

Dalam hal menjalankan putusan pengadilan negeri, dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri maka dilakukan atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut.

Saat ini hakim aktif kembali mendapatkan penegasan dalam Pasal 14 PERMA No. 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Ketentuan tersebut memberikan guidence bagi hakim dalam persidangan gugatan sederhana agar aktif memberikan penjelasan mengenai acara persidangan, menyelesaikan perkara secara damai, menuntun para pihak dalam pembuktian dan menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak.

 

Penutup

Pada saat hakim menerima pelimpahan perkara, maka setelah mempelajari dan menemukan cacat formil dalam gugatan, dalam persidangan hakim memberikan nasehat untuk perbaikan gugatan. Pemberian nasehat/pencerahan akan mengarahkan pencari keadilan agar tidak sesat dalam menuntut/membela hak di pengadilan. Diharapkan setiap perkara akan berakhir dengan putusan yang menuntaskan hubungan hukum para pihak.

Biasanya keengganan hakim bersikap aktif atas dasar kekhawatiran dianggap tidak netral (partial). Pemberian nasehat dalam persidangan bukan merupakan keberpihakan kepada salah satu pihak sehingga ketakutan menuai laporan/pemeriksaan dari lembaga pengawasan (Bawas MA/KY) adalah berlebihan. Semoga keengganan seperti itu bukan kamuflase atas ketidakpedulian pemberian akses keadilan kepada masyarakat.

 


Cetak